• Jaman Beye: Peradaban Indonesia Terancam Runtuh

    Society that is well organized and developed adalah definisi peradaban. Peradaban Indonesia terancam runtuh karena aspek pada rakyat yang berupa pengembangan material dan spiritual yang menyangkut hak-haknya sering kali dinafikan, didzholimi oleh para pengelola negara. Begitu banyak kasus yang menunjukkan lemahnya kedudukan tata hidup rakyat yang tidak dibela dengan baik (bahkan dengan minimal sekalipun) oleh negara. Dengan puncak kasus Century, apapun yang terjadi di negara kita beberapa bulan ini pastilah juga ditonton dan diikuti perkembangan beritanya di seluruh dunia. Terutama negara-negara yang memiliki hubungan dalam tingkat menengah hingga erat dengan negara kita. Mereka menonton kisah peradaban Indonesia. Hak rakyat atas dananya sendiri yang dirampok pemilik bank Century tetap gelap dan belum terjangkau walaupun ada Undang-undang yang bisa melindungi mereka. Sementara para petinggi dan politisi malah bertikai dengan substansi kedudukan dan merahasiakan skandal yang memunggungi logika rakyat, logika keadilan, logika kepantasan. Hak rakyat yang miskin dan anak-anak terlantar masih juga belum bisa diselesaikan tuntas seperti penyakit lepra, negara masih tergagap melaksanakan perintah UUD 45 soal itu. Masih banyak anak jalanan di segenap pelosok negeri malah menimbulkan monster-monster jalanan pemangsa yang entah masih ada berapa lagi. Hak rakyat atas mudahnya akses pangan dan kesehatan karena rakyat telah dijadikanwajib pajak tanpa hak (menikmati hasil) pajak yang memadai. Sebesar 60% APBN negara yang Rp. 1000 trilyun lebih dihasilkan oleh pajak keringat rakyat. SementaraDepartemen Keuangan yang mengelolanya bersama Bank Indonesia sudah kita saksikan segala logika, kiprah, dan tindakan gegabah kolusi yang menghasilkan segala jenis pejabat aparatur negara yang semena-mena membelanjakan dan mengkonsumsi uang negara sebagaimana layaknya uang warisan keluarga mereka sendiri. Pesta pora atas uang negara mulai dari pemilihan hingga menikmati bersama-sama. Perangkat kebijakan dan hukum sering dilandasi oleh logika pendek akal tanpa kebijaksanaan. Selalu berdalih bahwa demokrasi memang mahal. Padahal tidaklah mahal apabila tidak pandir dan malas. Pandir dan malas yang sangat tercermin jelas pada niat dan motif untuk bekerja yang tidak efektif dan tepat guna tetapi lebih mengarah pada kecenderungan sebagai makelar dalam berbagai level aparatur. Sangat jelas terlihat pada sistem pilkada dan model kampanye, tambunnya KPU, multi partai yang sarat makelarisme dan pemborosan pandir uang rakyat secara mengerikan. Mafia Hukum di Kejaksaan, Peradilan, dan Penegakan Hukum adalah tanda kondisi tidak beradab. Bidang ekonomi perbankan yang penuh dengan tindakan menimbun dana di perbankan nasional yang tidak lebih besar bagi upaya pendanaan produktif rakyat, adalah cerminan kemalasan tanpa semangat pembangunan yang baik dan tepat guna. Mental terima komisi atau fee ( baca: kemalasan dan mental koruptif) dengan membiarkan pihak asing mengeksploitasi bumi, tanah, air dan kekayaan alam negeri adalah alasan sesungguhnya dibalik alasan ketidakmampuan bangsa sendiri mengerjakannya. Logika rakyat yang sederhana tentunya dilandasi pula oleh kebenaran dankesabaran yang juga ada batasnya. Apabila ada kebodohan telanjang yang ditayangkan televisi, apalagi tanpa ada lagi etika berbicara dan berlogika seperti pada tokoh Partai Demokrat, terjadi berulang-ulang dan dibiarkan oleh partai tersebut tanpa menarik tokoh ‘dodol’ nya, maka sudah bisa telak dinilai kualitas partai macam apakah partai yang dibina oleh pak Presiden kita. Memang hanya mulut, tetapi mulut yang ini bisa mewakili seluruh partai pemenang pemilu. Bagaimana bila rakyat akan merasa ‘tertipu’ salah menjatuhkan pilihan? Perseteruan jabatan politis adalah cerita lain yang juga memuakkan rakyat. Mungkin benar pula tindakan JK sewaktu jadi Wapres mencuekkan Golkar karena kesibukan sebagai Wapres, seharusnya JK sekalian keluar dari Golkar waktu itu. Pasti lebih elok. Soal maju ke pilpres apabila tanpa Golkar malah mungkin bisa berpeluang menang. Saat ini akan lebih elok kalau SBY keluar dari Partai Demokrat, toh sudah kali kedua menjabat Presiden, tidak perlu untuk maju lagi mau jadi apalagi. Demikian pula seluruh Menteri-menterinya harus keluar dari partainya. Biarlah di DPR masih ada fraksi partai. Tetapi tidak bagi aparatur negara. Setelah memperhatikan seluruh kekurangan tindakan negara atas rakyat, dan beramai-ramai keluar dari partai, maka kita bisa berharap peradaban Indonesia tidak terancam runtuh karena pengelolanya. Dalam sejarah Indonesia seribu tahun ini, pernah ada tanda-tanda keruntuhan peradaban apabila kerbau mulai keluar di panggung. SAMPAI kapan pun, pendidikan sejarah merupakan hal penting dan mendasar bagi sebuah bangsa yang hendak melompat maju secara cerdas. Meminjam ucapan Bung Karno, “Janganlah melihat masa depan dengan mata buta! Masa lampau berguna sekali menjadi kaca bengala meneropong masa datang.” Kata-kata proklamator ini menegaskan satu hal. Bahwa, sejarah penting disimak pada hari ini, demi merengkuh perspektif menjelajahi masa depan penuh tantangan. Bahkan, filosof Perancis Alexis de Tocqueville berkata: “Jika sejarah gagal memberikan penerangan pada hari ini, maka masa depan kesadaran umat manusia mengembara dalam kabut.” Tragisnya di Indonesia, belum tumbuh tradisi meneliti dokumen-dokumen historis. Ini merupakan fakta yang begitu terang benderang. Betapa sesungguhnya, sebagai sebuah bangsa, Indonesia tak memiliki intensi menghargai sejarah. Dokumen-dokumen sejarah yang bermakna terbengkalai berserakan, sekadar menjadi torehan tentang masa lampau yang bisu. Padahal, jika timbul gairah memaknai dokumen-dokumen sejarah melalui serangkaian penelitian, maka sangatlah besar kemungkinan Indonesia sebagai bangsa kini menemukan ilham penciptaan demi tegaknya peradaban adi luhung di masa depan. Mengapa di Indonesia penghargaan terhadap dokumen-dokumen sejarah sangatlah rendah? Jelas, ini merupakan pertanyaan berdimensi filosofis. Pertanyaan ini juga menggugat hakikat ke-Indonesia-an yang sama sekali tak bisa lepas dari dimensi historis. Bahkan, pertanyaan ini merefleksikan adanya banalitas atau kedangkalan pemikiran orang-orang Indonesia tentang sejarah bangsanya. Tak mengherankan pula jika pusat dokumentasi sejarah Indonesia terbesar dan paling representatif berada di Kota Leiden, negeri Belanda. Di Indonesia pun tidak tumbuh filsafat sejarah yang sepenuhnya mengambil titik tolak dari hamparan kehidupan Indonesia di masa lampau. Pentingnya sejarah bagi masa kini justru demi keperluan menjawab kompleksitas tantangan masa depan. Melalui penelitian sejarah, terdapat kejelasan referensi membangun peradaban masa depan. Dalam berbagai wacana publik (public discourse) muncul sejumlah kesimpulan. Bahwa, Indonesia merupakan sebuah bangsa dengan ingatan serba pendek. Indonesia ditengarai sebagai bangsa pelupa, sehingga tak habis-habisnya didera amnesia sejarah. Sebagai akibatnya, realitas hidup masa lampau terpinggirkan dari benak kesadaran. Masa lampau diposisikan sebagai realitas yang telah usang dan lantaran itu dipandang tak berguna untuk keperluan hari ini. Pelajaran sejarah pun dipandang sama dan sebangun dengan menghapal kejadian-kejadian purba. Pelajaran sejarah jauh dari upaya menumbuhkan kemampuan mengembangkan model-model analis historis secara tajam, demi menemukan paradoks dan sebab-akibat kehidupan nenek moyang di zaman lampau. Sulit mengingkari fakta dan kenyataan, manusia sesungguhnya mahluk sejarah. Lompatan kemajuan yang berhasil dikontruksikan oleh peradaban manusia hari ini merupakan akumulasi dari kemajuan yang terbentuk sebelumnya dalam bentangan sejarah. Dengan demikian, sofistifikasi peradaban pada hari ini merupakan konsekuensi logis dari kemajuan peradaban yang telah melintasi kurun waktu sejarah. Maka, bagaimana mungkin dewasa ini dan di masa depan terbayangkan adanya kemajuan pada derajat tertentu, jika tak ada kejelasan pemahaman terhadap kemajuan yang telah menyejarah? Apa yang dewasa ini dikenal dengan istilah “industri kreatif” hanya mungkin tumbuh dan berkembang manakala sebelumnya muncul apresiasi secara memadai terhadap sejarah. Sebab, pada sejarah terdapat arkeologi modal kultural yang dapat dikembangkan demi memperkuat industri kreatif. Keunggulan industri kreatif bahkan bergantung pada kemampuan kita kini menggali modal kultural yang telah menyejarah. Sejarah memang referensi bagi tegaknya peradaban adi luhung. Itu pula sebabnya, mengapa UNESCO menjunjung tinggi sejarah sebagai Memory of the World (MOW).

0 komentar: